Minggu, 30 Oktober 2011

Metodologi Ekonomi Islam

Metodologi Ekonomi Islam

Konsep Ekonomi Islam Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi.
Penjelasan

Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh. Karena itu suatu sistem ekonomi tidak dapat diharapkan untuk menyiapkan, misalnya, komposisi khusus barang-barang ekspor di negara tertentu, fungsi produksi yang praktis bermanfaat atau secara matematik dapat dikelola, atau rumusan mengenai bagaimana memperbesar fungsi-fungsi tuntutan individual dalam tuntutan yang berskala nasional. Komponen-komponen teori ekonomi seperti itu tidak dapat diawali dengan sistem tersebut karena komponen-komponen itu timbul dalam aplikasi praktis sistem tersebut dalam tatanan berbagai kondisi yang ada. Dengan melihat kondisi-kondisi ini dan dalam kerangka sistem ekonomi yang berlakulah unsur-unsur teori ekonomi seperti bisa dikembangkan, diuji dan diteorisasikan.

Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas "sistem ekonomi Islam" sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai kajian sisterm ekonomi, sama sebagaimana kajian terhadap tatabahasa yang hanya sedikit menyinggung pembentukan keterampilan berpidato saja

Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari Hukum (Fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (Fiqhul-Mu'malat) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat Muslim Ekonomi Islam dibatasi oleh Hukum Dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh, atau bahkan lebih banyak, terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya.

Tidak adanya pembedaan antara Fiqhul-Mu'amalat dan ekonomi Islam seperti itu merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam. Beberapa buah buku menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam ekonomi, sedangkan buku-buku lain mengkaji ekonomi Islam dari sudut pandang fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi kadang-kadang berubah menjadi pernyataan kembali hukum Islam mengenai beberapa jenis makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap sejum1ah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil maknanya sebagai kajian tentang hak pemilikan dalam Islam yang tidak difokuskan pada perilaku perusahaan sebagai unit produktif.

Hal lain yang tidak menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam peristilahan Fiqhul-Mu'amalat adalah bahwa ancangan seperti itu, pada dasarnya, terpecah-pecah dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi. Barangkali hal inilah yang menjadi sebab tidak adanya teori moneter makroekonomik dalam semua literatur mengenai ekonomi Islam.

Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka-jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi (itu sendiri).

Baru sedikit yang dilakukan untuk menampilkan sejarah pemikiran ekonomi Islam. Hal ini tidak menguntungkan karena sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin politik muslim sudah mengembangkan gagasan-gagasan ekonomik mereka sedemikian rupa sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam yang sebenarnya. Penelitian diperlukan untuk menampilkan pemikiran ekonomi dari para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (meninggal th. 182 H), Yahya bin Adam (meninggal th. 303 H), al-Gazali (meninggal tahun 505 H), Ibnu Rusyd (meninggal th. 595 H), al-'Izz bin 'Abd al-Salam (meninggal th. 660 H), al-Farabi (meninggal th. 339 H), Ibnu Taimiyyah (meninggal th. 728 H), al-Maqrizi (meninggal th. 845 H), Ibnu Khaldun (meninggal th. 808 H), dan banyak lainnya lagi.

Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak dan di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.

Kajian terhadap perkembangan historik ekonomi Islam itu merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti sangat penting, terutama dalam bidang kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Namun peringatan terhadap adanya dua bahaya perlu dikemukakan bila aspek historik Islam itu diteliti. Pertama, bahaya kejumbuhan antara teori dengan aplikasi-aplikasinya, dan kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya pertama muncul ketika para pemikir ekonomi Muslim modem tidak membedakan secara jelas antara konsepsi Islam dan aplikasi-aplikasi historiknya.

Hal ini tampak sangat jelas dalam cakupan keuangan negara, karena hampir semua buku mengenai keuangan negara yang ada dalam perpustakaan Islam kontemporer menganggap sumber-sumber negara sebagai sumber-sumber yang ada pada masa negara Islam besar, sejak masa 'Umar bin Khattab sampai masa Harun al-Rasyid. Sedikit sekali perhatian diberikan kepada pengembangan teori tentang keuangan negara yang didasarkan atas Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini tercermin dalam penampilan histori keuangan negara dalam Islam yang sedikit sekali memberikan ksempatan untuk menguji aplikabilitasnya pada saat sekarang karena karena adanya perubahan suasana di semua negara Islam.

Bahaya kedua muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik.

Rancangan historik dalam kajian terhadap ekonomi Islam itu kadang-kadang diterapkan dalam kaitannya dengan masyarakat-masyarakat Muslim masa sekarang. Hal ini tercermin dalam ekonomi Islam yang hanya berbicara tentang harta dan penghasilan, konsumsi yang tidak semestinya dan sebagainya, bukan mengenai penanggulangan mekanisme makroekonomik dari sistem ekonomi Islam itu. Tidak diragukan bahwa beberapa persoalan di negara-negara Islam sekarang ternyata serius dan penting, dan bahwa persoalan-persoalan tersebut seharusnya dibahas dalam kerangka ekonomi Islam itu, namun bila sistem ekonomi Islam itu merupakan sistem yang pokok bahasannya, misalnya, nasionalisasi industri dan penataan pemilikan tanah (land reform), lantas apa yang akan terjadi setelah semuanya ini berhasil diraih? Apa yang bisa dilakukan oleh sistem seperti, katakanlah, untuk industri yang telah dirasionalisasi atau tanah yang (pemilikannya) telah ditata kembali itu?

Batas-batas antara sistem ekonomi Islam yang bisa diaplikasikan terhadap perekonomian yang sehat dengan pertumbuhan yang normal, di satu pihak, dan tindakan-tindakan darurat yang dapat diambil oleh para pejabat penanggungjawab bidang perekonomian untuk membahas masalah sementara seperti peran ketidakadilan dalam distribusi barang-barang, atau kemiskinan, di pihak lain, seharusnya diberi demarkasi (juga). Tanpa demarkasi seperti itu, ekonomi Islam akan menjadi kajian parsial terhadap gejala-gejala peralihan yang akan menimbulkan pemborosan setelah pembangunan negara-negara Islam itu, ini tidak berarti bahwa persoalan-persoalan seperti persoalan-persoalan pembangunan itu tidak boleh mendapatkan perhatian langsung dari para ahli ekonomi Islam itu, melainkan harus diartikan bahwa persoalan-persoalan ini harus ditanggulangi dalam kerangka teori umum ekonomi Islam yang mempertahankan relevansinya dengan semua tahap pembangunan ekonomi dan suasana politik.

Diversifikasi literatur Islam modem mengenai ekonomi timbul dari kesulitan inheren dalam jenis kajian ini. Sama sekali tidak ada "Teori Ekonomi Islam" yang tertulis dalam pengertiannya yang ketat. Selain itu, bahkan mungkin banyak orang berkeberatan dengan digunakannya istilah "Teori Ekonomi" itu dengan alasan bahwa bila suatu teori adalah penafsiran terhadap beberapa aspek realitas, berarti bisa terdapat banyak teori yang bernafaskan nilai-nilai filosofik Islam dalam penafsiran terhadap realitas ekonomi. Ketidakjelasan diantara kedua pandangan ini telah mendorong sejumlah penulis untuk menampilkan pandangan yang sangat sempit mengenai filsafat ekonomi Islam dan membingkainya dengan cara sangat terbatas yang tidak sesuai dengan implikasi-implikasi teoretik nilai-nilai filsafat ini. (Upaya pertama untuk menetapkan demarkasi batas-batas antara filsafat ekonomi dalam Islam dan teori-teori ekonomi dari para penulis bidang ekonomi dilakukan oleh as-Sadr pada tahun 1964. Dia diikuti oleh M.N. Siddiqi pada tahun 1971.

Kesulitan tipe kedua dihadapi tidak hanya oleh penelitian di bidang ekonomi Islam tetapi oleh semua kajian yang membahas berbagai aspek sosial Islam, ia muncul dari hakikat sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Al-Qur'an dan Sunnah Al-Qur'an merupakan firman (kalam) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi kehidupan perilaku manusia, Kitab Suci itu tidak tersusun dalam bagian dan bab, yang masing-masing membahas, kehidupan manusia seperti Hukum, Politik, Ekonomi dan sebagainya, dan juga tidak diberi judul-judul di dapat menemukan berbagai aplikasi dan aturan yang bersumber daripadanya. Kadang-kadang ia merupakan rincian yang tepat, misalnya, dalam kaitannya hukum waris. Dalam hal-hal lain ia hanya menyinggung pemecahan secara garis besar, yang menunjukkan bahwa seharusnya para 'ulama' dan pemikir Muslim dapat mengembangkan dan melengkapi rincian-rincian yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip ini dan dengan memperhatikan situasi yang ada.

Mengancang dan mengembangkan teori-teori semacam itu adalah tugas para sarjana Muslim, dan hasil-hasil yang diperoleh dari upaya-upaya ini tidak dapat dikaitkan baik dengan Allah maupun dengan Al-Qur'an. Yang dapat dikemukakan mengenai hal ini bahwa ia adalah pandangan (sarjana-sarjana) Muslim tetapi bukan pandangan Islam, karena berbagai akibat dari situasi mereka terhadap teoretisasi tersebut tidak dapat diingkari. Selain itu mereka tidak memiliki otoritas untuk menafsirkannya.

Memang tidak ada seorang pun memiliki hak istimewa seperti itu. Sumber kedua, yaitu Sunnah, adalah pemahaman dan aplikasi Nabi terhadap Al-Qur'an. Kesulitan yang ditampilkan oleh sumber ini timbul dari kenyataan bahwa Nabi ketika itu, pada saat yang sama, adalah juga kepala negara. Karena itu sangat sulit untuk dibedakan antara sikap-sikapnya terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an yang bersifat permanen dan mengikat untuk selama-lamanya, dan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan berbagai situasi di masa hayatnya, disamping kesulitan tersebut di atas. Upaya pertama yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengangkat rincian-rincian yang rumit megenai bidang ekonomi dari dalam Al-Qur'an dan Sunnah itu ke dalam teori dilakukan pada tahun 1964, lagi-lagi, oleh as-Sadr.

Pernyataan terakhir dalam bagian metodologi ini akan membahas alat-alat analisis. Literatur Islam yang ada sekarang nengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode. Pertama adalah metode deduksi dan kedua metode pemikiran etrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, Fl-lqalta', dan sangat dikenal di kalangan mereka, diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis Muslim kontemporer yang merasakan tekanan: kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat Muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.

Kajian dalam pembahasan ini mempergunakan kedua metode tersebut. Namun perlu disadari bahwa kedua metode ini pada dasarnya diaplikasikan dalam kajian terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam tetapi hanya sedikit bisa diaplikasikan dalam kajian terhadap makroekonomi dan keseimbangan umum dalam sistem ekonomi semacam itu, atau bahkan dalam kajian terhadap teori-teori konsumsi dan matematik tertentu. Karena itu kajian ini akan mengaplikasikan alat-alat analisis matematik yang dikenal dalam teori ekonomi modern kapan saja dirasa perlu atau dianggap bermanfaat. Memang sebenarnya metode yang digunakan para Fuqaha pun sebenarnya bersifat matematik dalam semangat dan kecenderungannya.

hukum ekonomi islam dalam al-quran,as-sunnah,dan fiqh

Indikator lain tentang kepedulian Islam terhadap persoalan ekonomi dan keuangan, ialah kenyataan yang menunjukkan bahwa di dalam al-Qur’an, yang menjadi sumber utama dan pertama hukum Islam, terdapat sejumlah ayat yang mengatur persoalan-persoalan hukum ekonomi dan keuangan (ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah ). Menurut kesimupulan Abdul Wahhab Khallaf, paling sedikit ada 10 ayat hukum dalam al-Qur’an yang berisikan norma-norma dasar hukum ekonomi dan keuangan.

Berbeda dengan Khallaf, yang melihat ayat-ayat ekonomi semata-mata dari aspek hukumnya, Mahmud Syauqi al-Fanjari dalam konteks yang agak luas memprakirakan ayat-ayat ekonomi dan keuangan dalam al-Qur’an berjumlah 21 ayat yang secara langsung terkait erat dengan soal-soal ekonomi. Berlainan dengan Khallaf yang sama sekali tidak menunjukkan ayat-ayat mana saja yang ia maksud dengan 10 ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah di atas, al-Fanjari secara eksplisit menyebutkan satu demi satu ke-21 ayat ekonomi yang dimaksudkannya, yaitu: al-Baqarah (2): 188, 275 dan 279; An-Nisa (4): 5 dan 32; Hud (11): 61 dan 116; Al-Isra’ (17): 27; An-Nur (24): 33; Al-Jatsiyah (45): 13; Adz-Dzariyat (51): 19; An-Najm (53): 31; Al-Hadid (57): 7; Al-Hasyr (59): 7; Al-Jumu`ah (62): 10; Al-Ma`arij (70): 24 dan 25; Al-Ma`un (107): 1, 2, dan 3.
Senafas dengan al-Qur’an, al-Hadits yang menjadi sumber hukum Islam penting kedua setelah al-Qur’an, juga membincang persoalan ekonomi dan keuangan. Di dalam buku-buku hadis yang ada, terutama buku-buku hadis hukum, selalu ditemukan kitab atau bab yang secara khusus membahas persoalan-persoalan ekonomi dan keuangan. Sebagai ilustrasi, perhatikan salah satu kitab hadis hukum yang paling masyhur dan dikenal luas oleh para akademisi di seluruh dunia Islam dan bahkan perguruan-perguruan tinggi non Islam yang mempelajari hukum Islam.
Kitab hadis yang dimaksudkan adalah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Kematangan yang Diidamkan Tentang Dalil-Dalil Hukum), karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (733 – 852 H). Dalam kitab Bulugh al-Maram, yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa (di antaranya Inggris dan Indonesia) dan telah disyarah (dikomentari) oleh sejumlah pensyarah, ini terdapat kitabul-buyu` (kitab perdagangan) yang memuat 192 hadis hukum tentang ihwal ekonomi dan bisnis yang dikemas ke dalam beberapa bab. Selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Bab as-syuruth al-buyu` wa-ma nuhiya `anhu (bab tentang syarat-syarat jual-beli dan hal-hal yang terlarang dari padanya), atau conditions of business transactions and those which are forbidden (46 hadis);
2. Bab al-khiyar (bab tentang hak memilih pelaku akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya), atau reconditional bargains (3 hadis);
3. Bab ar-riba (bab tentang riba), atau usury (18 hadis);
4. Bab ar-rukhshah fil-`araya wa-bai`il-ushuli watstsimar (kelonggaran tentang berbagai pinjaman dan jual-beli pepohonan dan buah-buahnya), atau licence regarding the sale of `Araya and the sale of trees and fruits (7 hadis);
5. Bab as-salam wal-qardhi war-rahni (bab tentang jual-beli salam, pinjam-meminjam dan gadai), atau payment in advance, loan and pledge (10 hadis);
6. Bab at-taflis wa-al-hajr (bab tentang pailit dan penahanan harta seseorang), atau insolvency and seizure (10 hadis);
7. Bab as-shuluh (bab tentang perdamaian), atau reconciliation (4 buah hadis);
8. Bab al-hawalah wad-dhaman (bab tentang pemindahan hutang dan tanggungan/jaminan pembayaran hutang), atau transference of a debt to another and surety (4 hadis);
9. Bab as-syirkah wal-wakalah (bab tentang Persekutuan dan perwakilan), atau partnership and agency (8 hadis);
10. Bab al-iqrar (bab tentang – pernyataan – pengakuan), confession (1 hadis);
11. Bab al-`ariyah (bab tentang pinjaman), atau loan (5 hadis);
12. Bab al-ghashb (bab tentang mengganggu hak orang lain), atau wrongful appropriation (6 hadis);
13. Bab as-syuf`ah (bab tentang hak pilihan untuk membeli harta yang dimiliki secara bersekutu), atau option to buy neighbouring property (6 hadis);
14. Bab al-qiradh (bab tentang peminjaman modal kepada orang lain dengan motif bagi untung antara pemilik modal dan yang menggunakan modal), atau giving someone some property to trade with, the profit being shared between the two but any loss falling on the property (2 hadis);
15. Bab al-masaqah wal-ijarah (bab tentang pemeliharaan kebun dan upah atau gaji), atau tending palm-trees and wages (9-10 hadis);
16. Bab Ihya’ al-mawat (bab tentang penggarapan/pengelolaan tanah tidak bertuan), atau bringing barren lands into cultivation (5-6 hadis);
17. Bab al-waqf (bab tentang wakaf), atau mortmain (3 hadis);
18. Bab al-hibah, wa-al-`umra, wa-ar-ruqba (bab tentang hibah, umra dan penjaga upahan), atau gifts, life-tenancy, and giving property which goes to the survivor (11 hadis);
19. Bab al-luqathah bab tentang luqatah), atau finds (6 hadis);
20. Bab al-fara’idh (bab tentang kewarisan), atau shares inheritance (13 hadis);
21. Bab al-washaya (bab tentang wasiat), atau wills (6-7 hadis);
22. Bab al-wadi`ah (bab tentang penitipan), atau trust (satu hadis).
Selain kitab hadis Bulugh al-Maram yang disebutkan di atas, masih banyak lagi buku-buku hadis lainnya — terutama hadis-hadis hukum – yang hampir atau bahkan semuanya memuat hadis-hadis tentang ekonomi dan keuangan (al-hadits al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah). Terutama di dalam kitab-kitab hadis yang tergabung dalam kelompok kutub as-sunan – berikut syarahnya – semisal: Sunan al-Awza`i, karya besar al-Imam Abdurrahman bin Amr al-Awza`i (88 – 157 H), Sunan Abi Dawud, karya monumental al-Imam al-Hafizh Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy`ats as-Sijistani al-Azdi (202 – 275 H), Sunan an-Nasa’i, karya terpopuler al-Hafizh Abu Abdirrahman bin Dinar an-Nasa’i (214/215-303 H), Sunan at-Tirmidzi, karangan ternama al-Imam al-Muhaddits Abu `Isa Muhammad bin `Isa bin Saurah at-Tirmidzi (209-279 H), Sunan ad-Dar Quthni, karya besar al-Imam al-Kabir Ali bin Umar ad-Dar Quthny (305 – 385 H) dan lain-lain.
Pembahasan ekonomi Islam/Syariah akan semakin terasa meluas dan mendalam tatkala kita membaca literatur-literatur Islam yang lain terutama dalam berbagai kitab fiqih (hukum Islam) yang jumlahnya tidak lagi puluhan apalagi belasan; akan tetapi, telah mencapai ratusan dan bahkan ratusan ribu. Hampir atau bahkan semua kitab fikih — terutama yang bersifat umum dan berukuran tebal apalagi berjilid-jilid — pasti membahas persoalan muamalah khususnya dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Selain kitab-kitab fikih yang membahas berbagai persoalan hukum Islam dalam bentuknya yang bersifat umum dan komprehensif, juga teramat banyak kitab-kitab fikih – klasik maupun kontemporer – yang secara spesifik membahas ihwal ekonomi-bisnis dan keuangan ala Islam secara khusus. Perhatikan misalnya karya Abi Abdul Qasim bin Salam (1408 H/1988 M), Kitab al-Amwal, dan buah pena Ahmad Isa Asyur, al-Fiqh al-Muyassar fil-Mu`amalat [t.t.]. Yang pertama merepresentasikan karya-karya fikih keuangan klasik; sedangkan yang kedua, mewakili kitab-kitab fikih ekonomi kontemporer.
Pendeknya, hukum ekonomi Islam sebagaimana dapat ditelusuri dalam berbagai literatur yang ada dan tersedia, memiliki jangkauan yang sangat luas. Hanya saja, bagaimana cara kita menggali dan mengembangkan norma-norma hukum ekonomi Islam yang terserak-serak di dalam berbagai literatur dimaksud, inilah tantangan yang harus dijawab dan dicarikan solusinya.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pengantar Ekonomi Mikro Islami


pengatar ekonomi mikro islam

Ilmu Ekonomi Mikro adalah penerapan ilmu ekonomi dalam perilaku individual sebagai konsumen, produsen maupun sebagai tenaga kerja, serta implikasi kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi perilaku tersebut. Sedangkan Ilmu Ekonomi Makro adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari mekanisme bekerjanya perekonomian secara keseluruhan (agregat).

Salah satu kelemahan ilmu ekonomi konvensional adalah tidak adanya hubungan yang jelas antara tujuan-tujuan makroekonomi dan mikroekonomi. Ilmu Ekonomi Islam juga berusaha mengatasi kelemahan ini dengan membangun fondasi mikro bagi makroekonominya. Namun usaha ini belum sepenuhnya terpenuhi, ilmu mikroekonomi Islam masih meraba-raba di permukaan dan baru membicarakan sejumlah konsep kunci, diantaranya soal self-interest, kepentingan sosial, kepemilikan individu, preferensi individu, mekanisme pasar, persaingan, laba, utilitas dan rasionalitas. Konsep-konsep ini secara bahasa sama dengan yang dikemukan ekonomi konvensional sehingga cenderung memberi kesan tidak ada perbedaan, tetapi sebenarnya landasan filosofi pandangan dunia Islam telah memberikan makna dan signifikansi yang berbeda.


Pada dataran teoritis, ada beberapa pokok bahasan ilmu mikroekonomi yang telah menjadi kajian dari sudut pandang ilmu ekonomi Islam, diantaranya adalah:
1. Asumsi Rasionalitas dalam Ekonomi Islami
- Perluasan konsep Rasionalitas melalui persyaratan transitivitas dan pengaruh infak (sedekah) terhadap utilitas.
- Perluasan spektrum utilitas oleh nilai Islam tentang halal dan haram
- Pelonggaran persyaratan kontinuitas, misal permintaan barang haram ketika keadaan darurat.
- Perluasan horison waktu (kebalikan konsep time value of money)

2. Teori Permintaan Islami
- Peningkatan Utilitas antara barang halal dan haram.
- Corner Solution untuk pilihan halal-haram.
- Permintaan barang haram dalam keadaan darurat (tidak optimal)

3. Teori Konsumsi Islami
- Konsumsi Interporal dalam Islam
- Hubungan terbalik riba dengan sedekah
- Hubungan terbalik rasio tabungan dengan konsumsi akhir
- Investasi Tabungan

4. Teori Produksi Islami
- Perbandingan pengaruh sistem bunga dan bagi hasil terhadap biaya produksi, pendapatan, dan efisiensi produksi.

5. Teori Penawaran Islami
- Perbandingan pengaruh pajak penjualan dan zakat perniagaan terhadap surplus produsen.
- Internalisasi Biaya Eksternal.
- Penerapan Biaya Kompensasi, batas ukuran, atau daur ulang.

6. Mekanisme Pasar Islami
- Mekanisme pasar menurut Abu Yusuf, al-Ghazaly, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun.
- Mekanisme pasar Islami dan intervensi harga Islami.
- Intervensi harga yang adil dan zalim (versi Ibnu Taimiyah).

7. Distorsi Pasar Perpektif Islam
- Distorsi Permintaan dan penawaran (Ba’i Najasy, Ikhtikar)
- Tadlis/penipuan dan Taghrir/ketidakpastian ( kuantitas, kualitas, harga, waktu)

8. Efisiensi Alokasi dan Distribusi Pendapatan
- Infak dan maksimalisasi utilitas
- Superioritas sistem ekonomi Islam

Diskursus ilmu mikroekonomi ini masih memiliki kekurangan mendasar karena seringkali diadopsi dari model yang dipergunakan dalam ekonomi konvensional sehingga tidak selalu sesuai dengan asumsi paradigmatiknya. Lebih-lebih lagi, pengujian empiris terhadap model-model ini tidak mungkin dilakukan sekarang karena tidak adanya sebuah perekonomian yang benar-benar islami atau yang mendekatinya, dan juga tidak tersedianya data yang diperlukan untuk pengujian tersebut. Sangat sedikit kajian yang memperlihatkan bagaimana aktivitas perekonomian muslim beroperasi pada zaman dahulu. Bahkan kajian empiris terhadap masyarakat muslim modern di negara-negara muslim maupun nonmuslim dari perspektif Islam juga amat jarang.

Namun demikian, ini tidak berarti mengurangi minat dan semangat kita mengembangkan ilmu Ekonomi Islam. Kerangka hipotesis yang telah terintis dapat berfungsi sebagai tujuan yang berguna dalam menyediakan bangunan teoritis bagi ilmu Ekonomi Islam dan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan suatu perekonomian islam, ketika kelak hal itu telah dipraktekkan di suatu negara. Hanya dengan mengembangkan mikroekonomi yang sesuai dengan paradigma Islamlah yang akan meneguhkan identitas unik Ekonomi Islam. Oleh karena itu, “Konstruksi teori mikroekonomi di bawah batasan-batasan Islam merupakan tugas yang paling menantang di depan ilmu Ekonomi Islam”.

EKONOMI MAKRO ISLAM

EKONOMI MAKRO ISLAM


KEBIJAKAN FISKAL
Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Mungkin, dari semua kitab agama masa dahulu, Al-Quran-lah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah yang tepat tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan. Negara Islam adalah suatu negara ideologi yang sebagai suatu mekanisme untuk melaksanakan hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, kebijakan fiskal dalam suatu negara Islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum dan nila-nilai Islam.
Tujuan pokok agama Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Kesejahteraan umat manusia ini dapat dicapai bila seluruh sistem hukum dan ekonomi tidak membicarakan kebijakan fiskal saja, dan hal ini sesuai dengan Sifat-Sifat Ilahi: Maha Pemberi Rezeki, Maha Pemurah, dan Maha Pengasih. Sehingga, kegiatan-kegiatan yang menambah pengeluaran dan menarik penghasilan negara harus digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu dalam kerangka umum hukum Islam seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Pendapatan utama bagi negara di masa Rasulullah SAW adalah zakat dan ushr. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Seperti tercantum dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 60.
Pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara. Lebih jauh, zakat secara fundamental adalah pajak lokal. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, ketika Rasulullah SAW berkata pada Muadz ketika beliau mengirim nya ke Yaman sebagai pengumpul dan pemberi zakat, “… katakanlah kepada mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk membayar zakat yang akan diambil dari orang kaya diantara mereka dan memberikannya kepada orang miskin diantara mereka”. Dengan demikian, pemerintah pusat berhak menerima keuntungan hanya bila terjadi surplus yang tidak dapat didistribusikan lagi kepada orang-orang yang berhak, dan ditambah kekayaan yang dikumpulkan di Madinah, ibukota negara.
Sumber-sumber pendapatan lainnya adalah:
1. Uang tebusan untuk tawanan perang, hanya dalam kasus Perang Badar. Pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang.
2. Pinjaman-pinjaman setelah menaklukkan kota Mekkah untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma, atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabia dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah.
3. Khumus atau rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam.
4. Amwal fadhla, berasal dari harta benda kaum muslimin yang meningga tanpa ahli waris atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
5. Wakaf, harta benda yang diindikasikan kepada umat Islam yang disebabkan Allah dan pendapatannya akan didepositokan di Baitul Maal.
6. Nawaib, pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat (pernah terjadi pada masa Perang Tabuk).
7. Zakat Fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan Ramadhan dan dibagi sebelum Sholat Ied.
8. Bentuk lain shadaqah seperti kurban dan kaffarat. Kaffarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada acara keagamaan.
Tidak disebutkannya kadar zakat yang dikenakan pada berbagai barang milik kaum muslimi dalam Al-Qur’an dapat ditafsirkan sebagai besarnya elastisitas sistem keuangan negara dan perpajakan Islami. Karena kondisi sosio ekonomi telah berubah secara fundamental, maka tidak ada alasan untuk percaya bahwa unsur yang dipajak dan kadar yang dikenakan tidak dapat berubah dengan berubahnya keadaan, sebab dalam Islam pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Dalam negara Islam, dasar anggaran bukan semata-mata penerimaan yang akan menentukan pengeluaran. Pengeluaranlah ayang harus menjadi dasar utama untuk mengerahkan penghasilan. Hal ini berdasarkan persyaratan Islam bahwa suatu negara harus menyediakan kebutuhan minimum pokok bagi semua warganya. Karena itu bila penghasilan zakat memenuhi persediaan pokok bagi si miskin, selalu terdapat kemungkinan lain untuk perpajakan tambahan di luar zakat, asal saja digunakan dengan cara yang bijaksana. Oleh karena itu, dalam suatu ekonomi Islam pembiayaaan defisit dapat dilakukan. Hal ini dapat diatur melalui perjanjian mudharabah, musyarakah, dan murabahah. Di samping itu, suatu pemerintahan Islam juga dapat menghimpun dana dengan mengeluarkan obligasi dan sertifikat investasi kepada umu atas dasar pembagian laba dan rugi.
KONSEP DAN FUNGSI UANG
1. KONSEP UANG
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep ekonomi konvensional. Menurut ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital. Sementara itu, dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak jelas. Misalnya, dalam buku Money, Interest, and Capital (1989) oleh Colin Rogers, uang diartikan bertukaran (interchangeability), sebagai uang atau sebagai capital. Ketidak jelasan dalam konsep ini bisa menimbulkan kekacauan.
Perbedaan lainnya, menurut konsep ekonomi Islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept, sedangkan capital bersifat stock concept. Dalam ekonomi konvensional, terdapat beberapa pengertian. Frederick Mishkin dalam bukunya Economics of Money, Banking, and Financial Institution, mengungkapkan konsep Irving Fisher:
MV = PT,
dimana M adalah jumlah uang, V adalah tingkat perputaran uang, P adalah tingkat harga barang, dan T adalah jumlah barang yang diperdagangkan. Persamaan tersebut menunjukkan semakin cepat perputaran uang, semakin besar pendapatan. Menegaskan pula bahwa uang adalah flow concept. Fisher mengatakan bahwa, sama sekali tidak ada korelasi antara kebutuhan memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga.
Dalam buku Mishkin juga diungkapkan konsep Marshall-Pigou dari Cambridge:
M = kPT,
dimana M adalah jumlah uang, k adalah 1/V, P adalah tingkat harga barang, dan T adalah jumlah barang yang diperdagangkan. Walaupun secara matematis k dapat dipindahkan ke kiri atau ke kanan, secara filosofi konsep ini berbeda. Huruf k pada persamaan ini menyatakan bahwa demand for holding money adalah suatu proporsi (k) jumlah pendapatan (PT). semakin besar k, semakin besar demand for holding money (M) untuk tingkat pendapatan tertentu (PT). Ini berati uang adalah stock concept, yang dalam konteks ini, dapat menjadi alat untuk menyimpan kekayaan (store of wealth).
Namun demikian, kita tidak boleh menyederhanakan masalah dengan mengatakan Islam memandang uang sebagai flow concept dan ekonomi konvensional memandang uang sebagai stock concept. Karena, dalam ekonomi konvensional terdapat pertentangan pengertian antara kelompok Friedman dan kaum monetaris di satu kubu dengan kaum Keynesian dan Cambridge Shool di kubu lain
Menurut konsep ekonomi Islam, capital is private goods, sedangkan money is public goods. Uang yang mengalir adalah public goods (flow concept), sedangkan yang mengendap sebagai milik seseorang (stock concept) adalah milik pribadi (private goods). Dengan demikian, jika dan hanya jika uang diinvestasikan dalam proses produksi, kita akan memperoleh keuntungan. Sedangkan dalam konsep ekonomi konvensional, mereka tetap menginginkan keuntungan tanpa memperdulikan apakah uang itu diinvestasikan pada proses produksi atau tidak.
2. FUNGSI UANG
Fungsi uang berbeda antara sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam. Dalam ekonomi konvensional, dikenal 3 fungsi uang, yaitu: alat pertukaran (medium of exchange), satuan nilai (unit of account), dan penyimpan nilai (store of value).
Dalam ekonomi Islam hanya mengenal uang dalam fungsinya sebagai alat pertukaran (medium of exchange), yaitu media untuk mengubah barang dari satu bentuk kepada bentuk lain. Fungsi lainnya adalah sebagai satuan nilai (unit of account).
Teori konvensional juga memasukkan alat penyimpan nilai (store of value) sebagai salah satu fungsi uang, termasuk motif money demand for speculation. Tapi, hal ini tidak boleh dalam Islam, Islam hanya memperbolehakan uang untuk bertransaksi dan berjaga-jaga. Sama sekali menolak untuk spekulasi.
TIME VALUE OF MONEY Vs ECONOMIC VALUE OF TIME
Teori keuangan konvensional mendasarkan argumen bunganya dengan konsep time value of money. Teori ini merupakan kekeliruan, karena diambil dari ilmu teori pertumbuhan penduduk (populasi), bukan dari ilmu keuangan. Hal ini keliru, karena uang bukan makhluk hidup yang dapat berkembang dengan sendirinya. Validitas teori ini akan dibantah dengan konsep yang lebih tepat, yaitu economic value of time.
Namun demikian, walaupun konsep time value of money ini dibantah, bukan berarti perangkat matematis yang digunakan oleh konsep tersebut tidak dapat dipakai lagi. Rumus-rumus matematik yang digunakan dalam teori keuangan konvensional juga dapat digunakan dalam keuangan syariah, misalnya untuk menentukan tingkat keuntungan yang diminta oleh bank syariah. Halal-haramnya suatu transaksi tidak tergantung pada rumus matematik apa yang dipakai, karena sesungguhnya matematik hanyalah sekedar alat saja. Suatu yang halal tetap halal, baik bila diukur dengan metode prosentase ataupun tidak.
Kuantitas waktu sama bagi semua orang. Namun nilai dari waktu akan berbeda dari satu orang ke orang lainnya. Faktor yang menentukan nilai dari waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi waktunya. Efektif dan akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa saja yang melaksanakannya. Oleh karena itu, siapapun pelakunya, secara sunnatullah akan mendapat keuntungan di dunia.
Dalam Islam, keuntungan yang dicari bukan saja keuntungan di dunia, tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu bukan saja harus efektif dan efisien, tapi juga harus didasari dengan keimanan.
Dalam ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai berikut: a dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return. Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat positive, negative, atau no return. Itu sebabnya dalam teori finance, selalu disebut risk-return relationship.
Menurut ekonom konvensional, ada dua hal yang mendasari konsep time value of money, yakni: presence of inflation dan preference present consumption to future consumption.
Alasan pertama tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan deflasi. Bila keberadaan inflasi menjadi alasan adanya time value of money, maka deflasi menjadi alasan adanya negative time value of money. Tapi, hanya satu kondisi saja yang diakomodir oleh konsep time value of money, yaitu pada kondisi inflasi dan mengabaikan kondisi deflasi.
Ekonomi syariah menolak keadaan yang disebut al ghunmu bi la ghurmi (gaining return without responsible for any risk) dan al-kharaj bi la dhaman (gaining income without responsible for any expenses). Keadaan yang juga ditolak oleh teori ilmu keuangan berdasarkan prinsip return goes along with risk.
KEBIJAKAN MONETER
Sistem moneter, sepanjang zaman, mengalami banyak perkembangan. Sistem keuangan inilah yang banyak dijadikan bahan studi empiris maupun historis dibandingkan disiplin ilmu ekonomi lainnya. Pada zaman Rasulullah sistem ini menggunakan bimetallic standard, dengan emas dan perak (dalam bentuk dinar dan dirham) sebagai alat pemabayaran yang sah. Nilai tukar emas dan perak, pada masa ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar-dirham 1:10. namun demikian, stabilitas nilai kurs pernah terganggu karena disekuilibrium antara persediaan dan penawaran.
Instabilitas dalam nilai tukar uang ini mengakibatkan terjadinya bad coins to drive good coins out of circulations atau uang buruk menggantikan uang berkualitas baik. Dalam literature konvensional, peristiwa yang disebut hukum Gresham ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Mamluk (1263-1328 M). Saat itu, uang logam dari jenis fulus (tembaga) mendesak keberadaan uang logam emas dan perak. Peristiwa ini disebabkan menghilangnya uang dinar (emas) dan dirham (perak) dari peredaran karena perbedaan nilai kurs dengan daerah lain. Misalnya, kurs di wilayah pemerintahan Mamluk adalah 1:20 sedangkan di daerah lain 1:25. Sehingga, uang yang beredar di wilayah Mamluk dilarikan ke daerah itu. Oleh Ibnu Taimiyah, kondisi ini digambarkan sebagai uang berkualitas rendah menendang keluar uang berkualitas baik.
Perkembangan emas sebagai standar peredaran uang mengalami tiga kali evolusi, yaitu: the gold coin standard, the gold bullion standard, dan the gold exchange standard.
Dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan menggunakan dinar dan dirham sebagai standar nilai tukar uang (full-bodied monometallic standard). Beberapa fuqaha terkemuka seperti Ahmad bin Hanbal, Ibn Hazm, dan Ibnu Taimiyah pun mendukung keberadaan uang fidusia. Menurut mereka, tidak ada keharusan memakai emas dan perak sebagai alat pemabyar walaupun pada masa itu keberadaan full-bodied money sangat lazim. Dalam konteks sejarah, Khalifah Umar bin Khattab juga pernah mencoba memperkenalkan uang dari jenis kulit binatang.
Meskipun membolehkan uang fidusia, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan emas dari peredaran sesuai hukum Gresham. Sementara itu, Imam Al Ghazali memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
Para fuqaha bersepakat bahwa hanya otoritas yang berkuasa yang berhak mengeluarkan uang. Dalam hal ini, Al Ghazali mensyaratkan agar pemerintah harus mengeluarkan pernyataan bahwa uang fidusia yang dicetak adalah alat pembayaran yang resmi. Seiring dengannya, pemerintah wajib menjaga nilanya dengan mengatur jumlah uang beredar sesuai dengan kebutuhan dan memastikan tidak ada perdagangan uang.
Pada dasarnya, kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pelu serta mendesak dan tidak perlu serta kurang bermanfaat. Komponen pertama dapat dimasukkan sebagai permintaan akan uang untuk pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif, sedang jenis kedua meliputi konsumsi yang berlebihan (conspicuous consumption), investasi yang tidak produktif, dan investasi untuk spekulasi.
Para ekonom muslim mengandalkan tiga variabel penting dalam manajemen permintaan uang, yaitu: nilai-nilai moral, lembaga-lembaga sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga, dan tingkat keuntungan riil sebagai pengganti keberadaan suku bunga.
Dasar pemikiran manajemen moneter dalam konsep Islam adalah terciptanya stabilitas permintaan akan uang dan terarahnya permintaan akan uang kepada tujuan yang penting dan produktif. Dengan demikian, setiap instrumen yang mengarah kepada instabilitas dan pengalokasian sumber dana secara tidak produktif akan ditinggalkan.
Penghapusan suku bunga, penetapan kewajiban pembayaran pajak atas biaya produktif yang menganggur, serta penghilangan insentif bagi pemegang uang idle mendorong orang melakukan: qard (meminjamkan harta kepada orang lain), penjualan muajjal, dan mudharabah.
Pertumbuhan moneter dalam sistem ekonomi Islam tidaklah independen terhadap perubahan-perubahan di sektor riil, tetapi keduannya saling berintegrasi. Sektor riil menentukan level keseimbangan di sector moneter, namun tidak berarti pergerakan sektor riil disebabkan oleh sektor moneter. Kebijakan moneter untuk menstimulus sektor riil hanya akan menimbulkan khayalan uang (money illusion) yang berdampak sementara pada sektor riil, dan untuk jangka panjang, sektor riil akan kembali kepada keseimbangan awal. Oleh karena itu, tidak ada satupun dari ketiga mahdzab ekonomi Islam yang menjadikan sektor moneter sebagai variabel bebas.
(Wallahu ‘alam bi showab).
Referensi :
Manan, Muhammad Abdul. Teori dan Praktik Ekonomi Islam. (edisi terjemahan).Yogyakarta : PT. Dana Bakti Wakaf.1993.
Karim, Adiwarman. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Edisi Dua. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.
____________.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : The International Institute of Islamic Thought.2002.
____________Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. Edisi Satu. Jakarta : The International Institute of Islamic Thought.2002.

Jumat, 28 Oktober 2011

mp3

http://www.ziddu.com/download/17083322/dadali-disaatakumencintaimu.mp3.html

http://www.ziddu.com/download/17050027/7Icons-Jealous.mp3.html

http://www.ziddu.com/download/17049807/03ABGTua.mp3.html

http://www.ziddu.com/download/17050026/Armada-wanitapalingBerharga.mp3.html

http://www.ziddu.com/download/17050509/Armada_-_Hal_Terbesar_-_09_Kau.mp3.html

http://www.ziddu.com/download/17083323/DRIVE_melepasmu.MP3.html

prinsip- prinsip sistem perbankan syariah

Bisnis Syaria’ah – Prinsip – Prinsip / Hukum  Landasan  yang di anut oleh Sistem Perbankan Syari’ah dan Prinsip – Prinsip Islam tentang Ekonomi Syariah.
 

Bisnis syariah semakin menunjukan peranannya dalam membangun perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk beberapa dekade akibat krisi moneter tahun 1999 maupun krisi finansial global beberapa waktu yang lalu. Hal ini menjadi sebuah pertanda bagus karena akan muncul sebuah bisnis yang sangat tepat untuk dijalankan di zaman moderen seperti ini.
Dengan adanya bisnis syariah juga sangat baik untuk kembali bangkit pasca krisis global yang melanda beberapa waktu lalu. Keberadaan bisnis syariah sangat membantu kalangan ekonomi menengah kebawah untuk mendaptkan profit sharing dalam jumlah yang lebih besar, transparan serta aman dan halal. Inilah yang menjadikan kenapa bisnis syariah berkembang cukup pesat dari tahun ketahun seperti sekarang ini.
Dengan demikian sudah seharusnya bagi siapa saja baik badan pemerintah,swasta maupun personal untuk lebih mengkaji serta membuka bisnis syariah agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan guna mengurangi pengangguran yang semakin hari semakin bertambah saja.
Kini dalam perkembanganya di era modern seperti sekarang ini, bisnis syariah juga mulai dilirik oleh lembaga perbankan baik yang berskala kecil seperti BPR maupun bank yang sudah berskala nasional. Meskipun dilalukan oleh lembaga yang notabene bersifat betral dalam hal agama, namun bank yang mengeluarkan jasa Syariah tentu wajib mentaati Prinsip syariah yang berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
  1. Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
  2. Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
  3. Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
  4. Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
  5. Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Hal ini sangat disayangkan karena kurangnya pengetahuan tentang prinsip tersebut sehingga masih banyak masyarakat yang kurang percaya dan kurang merasa mudah menggunakan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam prinsip-prinsip Bank Syari’ah. Didalam perbankan syari’ah telah diatur berbagai macam transaksi yang tidak merugikan bagi kedua pihak. Karena jika sampai ada yang dirugikan dan dirugikan maka sudah melanggar ajaran Islam itu sendiri. Prinsip perbankan syari’ah itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Bisnis syariah memang sangat dianjurkan karena sejalan dengan prinsip ekonomi islam. Kita sebagai orang mslim tentu sangat paham akan manfaat dan kebenaran dari tuntunan agama khususnya dalam bidang ekonomi.
Prinsip-prinsip islam yang dapat kita lihat pada ekonomi syariah adalah sebagai berikut:
  • Dalam ekonomi, berbagai jenis sumberdaya dipandang sebagai pemberian tuhan atau titipan Tuhan kepada menusia guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia dan di akhirat bukan seperti ekonomi kapitalis untuk kepentingan diri sendiri (self interest principle).
  • Islam mengakui hak pribadi namun harus dibatasi oleh Pertama, kepentingan masyarakat, Kedua Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh dari suap, rampasan, kecurangan, pencurian, perampokan, penipuan dalam timbangan atau ukuran, pelacuran, produksi dan penjualan alkohol, bunga, judi, perdagangan gelap, usaha yang menghancurkan masyarakat.
  • Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama, suka sama suka. Jiwa kerjasama ini adalah mencari keuntungan yang wajar, tanpa perubahan ongkos maka harga barang hanya sebagai akibat prinsip kelangkaannya.
  • Al-qur’an : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu …. “ (Q4 : 29). Arti ayat ini adalah bahwa kepemilikan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produksi nasional supaya harta itu jangan berputar di sekitar orang-orang kaya saja.
  • Dalam ekonomi penganut pasar bebas, pemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli. Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya drencanakan untuk kepentingan orang banyak. Rasulullah bersabda “Masyarakat punya hak sama untuk air, padang rumput dan api, bahan tambang bahkan bahan makanan harus dikelola oleh perusahaan negara”.
  • Seorang muslim harus takut kepada Allah dan hari penentuan seperti dalam Al-qur’an : “Dan takutilah hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diberi balasan dengan sempurna usahanya (amal ibadahnya). Dan mereka tidak teraniaya. “ (Q2:281).
Itulah sedikit gambaran tentang bisnis syariah yang saya ketahui, semoga bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu tentang bisnis si Indonesia.

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam

1. Pendahuluan
Ada tiga sistem ekonomi yang dikenal di dunia, yaitu Sistem ekonomi Sosialis/komunis, Sistem ekonomi Kapitalis, dan Sistem ekonomi Islam. Masing-masing sistem ini mempunyai karakteristik.
Pertama, Sistem ekonomi Sosialis/komunis. Paham ini muncul sebagai akibat dari paham kapitalis yang mengekploitasi manusia, sehingga negara ikut campur cukup dalam dengan perannya yang dangat dominan. Akibatnya adalah tidak adanya kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi bagi individu-individu, melainkan semanya untuk kepentingan bersama, sehingga tidak diakuinya kepemilikan pribadi. Negara bertanggung jawab dalam mendistribusikan sumber dan hasil produksi kepada seluruh masyarakat.
Kedua, Sistem ekonomi Kapitalis. Berbeda dengan sistem komunis, sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem Sosialis/Komunis, di mana negara tidak mempunyai peranan utama atau terbatas dalam perekonomian. Sistem ini sangat menganut sistem mekanisme pasar. Sistem ini mengakui adanya tangan yang tidak kelihatan yang ikut campur dalam mekanisme pasar apabila terjadi penyimpangan (invisible hand). Yang menjadi cita-cita utamanya adalah adanya pertumbuhan ekomomi, sehingga setiap individu dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan diakuinya kepemilikan pribadi.
Ketiga, Sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam hadir jauh lebih dahulu dari kedua sistem yang dimaksud di atas, yaitu pada abad ke 6, sedangkan kapitalis abad 17, dan sosialis abad 18. Dalam sistem ekonomi Islam, yang ditekankan adalah terciptanya pemerataan distribusi pendapatan, seperti terecantum dalam surat Al-Hasyr ayat 7.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
2. Perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi konvensional ditinjau dari moral dan etika
Menurut Qardhawi1 sitem ekonomi Islam tidak berbeda dengan sistem ekonomi laiannya, dari segi bentuk, cabang, rincian, dan cara pengaplikasian yang beraneka ragam., tapi menyangkut gambaran global yang mencakup pokok-pokok petunjuk, kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan prinsip yang juga mencakup sebagian cabang penting yang bersifat spesifik ada perbedaannya. Hal itu karena sistem Islam selalu menetapkan secara global dalam masalah-masalah yang mengalami perubahan karena perubahan lingkungan dan zaman. Sebaliknya menguraikan secara rinci pada masalah-masalah yang tidak mengalami perubahan.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat kompreshensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik maupun yang bersifat spiritual.
Dalam menjalankan kehidupan ekonomi, tentu Allah telah menetapkan aturan-aturan yang merupakan batas-batas prilaku manusia sehingga menguntungkan suatu individu tanpa merugikan individu yang lain. Perilaku inilah yang harus diawasi dengan ditetapkannya aturan-aturan yang berlandaskan aturan Islam, untuk mengarahkan individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan dan mengontrol dan mengawasi berjalannya aturan-aturan itu.
Hal yang berbeda dengan sistem ekonomi yang lainnya adalah terletak pada aturan moral dan etika ini. Aturan yang dibentuk dalam ekonomi islam merupakan aturan yang bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya dengan Kekuatan Tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia, dunia, sesama makhluk dan tujuan akhir manusia. Sedangkan pada sistem yang lain tidak terdapat aturan-aturan yang menetapkan batas-batas prilaku manusia sehingga dapat merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lainnya.
Beberapa aturan dalam ekonomi islam adalah sebagai berikut :
a. Segala sesuatunya adalah milik Allah, manusia diberi hak untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini sebagai khalifah atau pengemban amanat Allah, untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah.
b. Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap prilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya.
c.     Semua manusia tergantung pada Allah, sehingga setiap orang bertanggung jawab atas pengembangan masyarakat dan atas lenyapnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.
d.    Status kekalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun tidak berarti selalu punya hak yang sama dalam mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam kesempatan, dan setiap individu dapat menikmati keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya.
e. Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Hak dan kewajiban ekonomi individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.
f. Dalam Islam, bekerja dinilai sebagai kebaikan dan kemalasan dinilai sebagai kejahatan. Ibadah yang paling baik adalah bekerja dan pada saat yang sama bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban.
g. Kehidupan adalah proses dinamis menuju peningkatan. Allah menyukai orang yang bila dia mengerjakan sesuatu melakukannya dengan cara yang sangat baik.
h.    Jangan membikin mudarat dan jangan ada mudarat.
i. Suatu kebaikan dalam peringkat kecil secara jelas dirumuskan. Setiap muslim dihimbau oleh sistem etika (akhlak) Islam untuk bergerak melampaui peringkat minim dalam beramal saleh.
Mekanisme pasar dalam masyarakat muslim tidak boleh dianggap sebagai struktur atomistis, tapi akumulasi dan konsentrasi produksi mungkin saja terjadi, selama tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan kerjasama.
Dari segi teori nilai, dalam ekonomi Islam tidak ada sama sekali pemisahan antara manfaat normatif sautu mata dagangan dan nilai ekonomisnya. Semua yang dilarang digunakan, otomatis tidak memiliki nilai ekonomis.
Jika berbicara tentang nilai dan etika dalam ekonomi islam, terdapat empat nilai utama yaitu Rabbaniyyah (ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan, dan Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan keunikan yang utama bagi ekonomi islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran islam. Atas dasar itu, sangat nyata perbedaannya dengan sistem ekonomi laniinya.
Ekonomi Rabbaniyyah bermakna ekonomi islam sebagai ekonomi ilahiah. Pada ekonomi kapitalis semata-mata berbicara tentang materi dan keuntungana terutama yang bersifat individual, duniawi dan kekinian. Islam mempunyai cara, pemahaman, nilai-nilai ekonomi yang berbeda dengan ekonomi Barat buatan manusia yang sama sekali tidak mengharapkan ketenangan dari Allah dan tidak mempertimbangkan akhirat sama sekali. Seorang muslim ketika menanam, bekerja, ataupun berdagang dan lain-lain adalah dalam rangka beribadad kepada Allah. Ketika mengkonsumsi dan menikmati berbagai harta yang baik menyadari itu sebgai rezki dari Allah dan nikmat-Nya, yang wajib disyukuri sebagai mana dalam firman Allah surat Saba ayat 15.
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Seorang muslim tunduk kepada aturan Allah, tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan yang riba, tidak melakukan penimbunan, tidak akan berlaku zalim, tidak akan menipu, tidak akan berjudi, tidak akan mencuri, tidak akan menyuap dan tidak akan menerima suap. Seorang muslim tidak akan melakukan pemborosan, dan tidak kikir.
Ekonomi akhlak, dalam hal ini tidak adanya pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak. Islam tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama. Kegiatan yang berkatian dengan akhlak terdapat pada langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi, peredaran, dan konsumsi. Seorang muslim terikat oleh iman dan akhlak pada setiap aktivitas ekonomi yang dilakukannya, baik dalam melakukan usaha, mengmebangkan maupun menginfakkan hartanya.
Ekonomi kemanusiaan, meupakan kegiatan ekonomi yang tujuan utamanya adalah merealisasikan kehidupan yang baik bagi umat manusia dengan segala unsur dan pilarnya. Selain itu bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang disyariatkan. Manusia adalah tujuan kegiatan ekonomi dalam pandangan islam, sekaligus merupakan sarana dan pelakunya dengan memanfaatkan ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya dan anugerah serta kemampuan yang diberikan-Nya. Nilai kemanusaian terhimpun dalam ekonomi islam seperti nilai kemerdekaan dan kemuliaan kemanusiaan, keadilan, dan menetapkan hukum kepada manusia berdasarkan keadilan tersebut, persaudaraan, dan saling mencintai dan saling tolong menolong di antara sesama manusia. Nilai lain, menyayangi seluruh umat manusia terutama kaum yang lemah. Di antara buah dari nilai tersebut adalah pengakuan islam atas kepemilikan pribadi jika diperoleh dari cara-cara yang dibenarkan syariat serta menjalankan hak-hak harta.
Ekonomi pertengahan, yaitu nilai pertengahan atau nilai keseimbangan. Pertengahan yang adail merupakan ruh dari ekonomi Islam. Dan ruh ini merupakan perbedaan yang sangat jelas dengan sistem ekonomi lainnya. Ruh dari sistem kapitalis sangat jelas dan nampak pada pengkultusan individu, kepentingan pribadi, dan kebebasannya hampir-hampir bersifat mutlak dalam pemilikan, pengembangan, dan pembelanjaan harta. Ruh sistem ekonomi komunis tersermin pada prasangka buruk terhadap individu dan pemasungan naluri untuk memiliki dan menjadi kaya. Komunis memandang kemaslahatan masyarakat, yang diwakili oleh Negara, adalah di atas setiap individu dan segala sesuatu.
Ciri khas pertengahan ini tersermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh islam di antara individu dan masyarakat, sebagai mana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, seperti dunia-akhirat, jasmani-rohani, akal-rohani, idealisme-fakta dan lainnya.
3. Prinsip-prinsip dalam Ekonomi Islam
Thomas Khun menyatakan bahsa setiap sistem ekonomi mempunyai inti paradigma. Inti paradigma ekonomi Islam bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Ekonomi Islam mempunyai sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan Insani. Disebut Ekonomi Rabbani karena sarat dengan arahan dan nilai-nilai Ilahiyah. Sedangkan ekonomi Insani karena ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia. (Qardhawi).
Menurut Yusuf Qardhawi (2004), ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar yaitu tauhid, akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang pertama kita sama-sama tahu pasti tidak ada dalam landasan dasar ekonomi konvensional. Prinsip keseimbangan pun, dalam praktiknya, justru yang membuat ekonomi konvensional semakin dikritik dan ditinggalkan orang. Ekonomi islam dikatakan memiliki dasar sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia. Sedangkan menurut Chapra, disebut sebagai ekonomi Tauhid. Keimanan mempunyai peranan penting dalam ekonomi Islam, karena secara langsung akan mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup, selera,dan preferensi manusia, sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya dan lingkungan. Saringan moral bertujuan untuk menjaga kepentingan diri tetap berada dalam batas-batas kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual seuai dengan prioritas sosial dan menghilangkan atau meminimalisasikan penggunaan sumber daya untuk tujuan yang akan menggagalkan visi sosial tersebut, yang akan meningkatkan keserasian antara kepentingan diri dan kepentingan sosial. (Nasution dkk)
Dengan mengacu kepada aturan Ilahiah, maka setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Pada paham naturalis, sumber daya menjadi faktor terpenting dan pada pada paham monetaris menempatkan modal financial sebagai yang terpenting. Dalam ekomoni Islam sumber daya insanilah yang terpenting.
Karasteristik Ekonomi Islam bersumber pada Islam itu sendiri yang meliputi tiga asas pokok. Ketiganya secara asasi dan bersama mengatur teori ekonomi dalam Islam, yaitu asas akidah, akhlak, dan asas hukum (muamalah).
Ada beberapa Karasteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Mawsu’ah Al-ilmiah wa al-amaliyah al-islamiyah yang dapat diringkas sebagai berikut:
a.  Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Merupakan Khalifah Atas Harta
Karasteristik pertama ini terdiri dari 2 bagian yaitu :
Pertama, semua harta baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah Swt, firman Q.S. Al- Baqarah, ayat 284 dan Q.S.Al -Maai’dah ayat 17.
Kedua, manusia adalah khalifah atas harta miliknya.Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Hadiid ayat 7.
Selain itu terdapat sabda Rasulullah SAW, yang juga mengemukakan peran manusia sebagai khalifah, diantara sabdanya ”Dunia ini hijau dan manis”.Allah telah menjadikan kamu khalifah (penguasa) didunia. Karena itu hendaklah kamu membahas cara berbuat mengenai harta di dunia ini.
Dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada ditangan manusia pada hakikatnya milik Allah, akan tetapi Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya.
Sesungguhnya Islam sangat menghormati milik pribadi, baik itu barang- barang konsumsi ataupun barang- barang modal. Namun pemanfaatannya tidak boleh bertentang an dengan kepentingan orang lain. Jadi, kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena pemilik sesungguhnya adalah Allah SWT.
Pada QS.an-Najm ayat 31 dan Firman Allah SWT. dalam QS. An-Nisaa ayat 32 dan QS. Al-Maa’idah ayat 38. jelaslah perbedaan antara status kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi yang lainnya. Dalam Islam kepemilikan pribadi sangat dihormati walau hakekatnya tidak mutlak, dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan tentu saja tidak bertentangan pula dengan ajaran Islam. Sementara dalam sistem kapitalis, kepemilikan bersifat mutlak dan pemanfaatannya pun bebas.sedangkan dalam sistem sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada kepemilikan oleh negara.
b.   Ekonomi Terikat dengan Akidah, Syariah (hukum), dan Moral
Diantara bukti hubungan ekonomi dan moral dalam Islam (yafie, 2003: 41-42) adalah: larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam transaksi, larangan menimbun emas dan perak atau sarana- sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat.
c. Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan
Beberapa ahli Barat memiliki tafsiran tersendiri terhadap Islam. Mereka menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri, tetapi toleran (membuka diri). Selain itu para ahli tersebut menyatakan Islam adalah agama yang memiliki unsur keagamaan (mementingkan segi akhirat) dan sekularitas (segi dunia). Sesungguhnya Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat.
d.   Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dengan
Kepentingan umum
Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah, Islam tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan- batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Hanya keadilan yang dapat melindungi keseimbangan antara batasan- batasan yang ditetapkan dalam sistem Islam untuk kepemilikan individu dan umum. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum.
e.   Kebebasan Individu Dijamin dalam Islam
Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan. Namun kebebasan tersebut tidak boleh melanggar aturan- aturan yang telah digariskan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Dengan demikian kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlat.
Prinsip kebebasan ini sangat berbeda dengan prinsip kebebasan sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis. Dalam kapitalis, kebebasan individu dalam berekonomi tidak dibatasi norma- norma ukhrawi, sehingga tidak ada urusan halal atau haram. Sementara dalam sosialis justru tidak ada kebebasan sama sekali, karena seluruh aktivitas ekonomi masyarakat diatur dan ditujukan hanya untuk negara.
f.   Negara Diberi Wewenang Turut Campur dalam Perekonomian
Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun dari negara lain. Negara juga berkewajiban memberikan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak.
Peran negara dalam perekonomian pada sistem Islam ini jelas berbeda dengan sistem kapitalis yang sangat membatasi peran negara. Sebaliknya juga berbeda dengan sistem sosialis yang memberikan kewenangan negara untuk mendominasi perekonomian secara mutlak.
g.   Bimbingan Konsumsi
Islam melarang orang yang suka kemewahan dan bersikap angkuh terhadap hukum karena kekayaan, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Israa ayat 16 :
h.    Petunjuk Investasi
Tentang kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, al-Mawsu’ah Al-ilmiyahwa-al amaliyah al-islamiyah memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi, yaitu:
a) Proyek yang baik menurut Islam.
b) Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat.
c) Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan, dan kekayaan.
d) Memelihara dan menumbuhkembangkan harta.
e) Melindungi kepentingan anggota masyarakat.
i.   Zakat
Zakat adalah salah satu karasteristik ekonomi Islam mengenai harta yang tidak terdapat dalam perekonomian lain. Sistem perekonomian diluar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki, dan dendam.
j. Larangan Riba
Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada bidangnya yang normal yaitu sebagai fasilitas transaksi dan alat penilaian barang. Diantara faktor yang menyelewengkan uang dari bidangnya yang normal adalah bunga (riba). Ada beberapa pendapat lain mengenai karasteristik ekonomi Islam, diantaranya dikemukakan oleh Marthon (2004,27-33). Menurutnya hal- hal yang membedakan ekonomi Islam secara operasional dengan ekonomi sosialis maupun kapitalis adalah :
a. Dialektika Nilai –nilai Spritualisme dan Materialisme
b. Kebebasan berekonomi
c. Dualisme Kepemilikan
DAFTAR PUSTAKA
1. Mustafa Edwin Nasution, Jangan Pinggirkan Studi Ekonomi Syariah, Republika online, Senin, 07 Nopember 2005
2. Dr. Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta, 2004
3. Dan sumber bacaan lainnya (internet)

Catatan Kaki
1. Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam p. 10

angka pengangguran


BAB I
PENDAHULUAN

Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Angkatan Kerja, Penduduk  Yang Bekerja Dan Pengangguran.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada bulan Februari 2005 mencapai 105,8 juta orang. Dibandingkan dengan jumlah angkatan kerjapada bulan Agustus 2004 sebesar 104,0 juta orang, berarti ada penambahan angkatan kerja baru sebesar 1,8 juta orang dalam enam bulan terakhir. Sementara itu, jumlah penduduk yang bekerja pada bulan Februari 2005 mencapai 94,9 juta orang, dan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja pada Agustus 2004 sebesar 93,7 juta orang, berarti ada penambahan lapangan kerja baru sebesar 1,2 juta orang. Penambahan jumlah lapangan kerja baru yang lebih kecil dibanding pertambahan angkatan kerja baru, menyebabkan terjadi penambahan jumlah penganggur baru sebesar 600 ribu orang. Dengan penambahan ini, tingkat pengangguran terbuka (Open Unemployment) meningkat menjadi 10,3 persen dibanding keadaan pada Agustus 2004 sebesar 9,9 persen. Di lain pihak, keberhasilan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2005 sebesar 6,35 persen (Year On Year) belum diikuti oleh penciptaan lapangan kerja yang signifikan.
Pertumbuhan ekonomi lebih diciptakan oleh penambahan investasi baru dan peningkatan kapasitas produksi pada sektor-sektor yang kurang menampung banyak tenaga kerja. Untuk menekan angka pengangguran ke depan, diperlukan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkesinambungan dengan orientasi pada penciptaan lapangan kerja yang luas (pro-labor economic growth). Sementara itu, jumlah penduduk yang bekerja tidak penuh (di bawah 35 jam per minggu) atau disebut underemployment, pada Februari 2005 mencapai 29,6 juta orang, terdiri dari bekerja tidak penuh tetapi tidak berusaha mencari pekerja lain (voluntary underemployment) sebesar 15,3 juta orang dan bekerja tidak penuh tetapi masih mencari pekerjaan lain (unvoluntary underemployment) sebesar 14,3 juta orang.
Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja keseluruhan sebesar 94,9 juta orang, tingkat underemployment mencapai 31,2 persen, yang berarti lebih tinggi dibanding keadaan pada Agustus 2004 sebesar 29,8 persen. Jumlah angkatan kerja pada Oktober 2005 diperkirakan mencapai 106,9 juta orang, bertambah 1,1 juta orang dibanding Februari 2005 (105,8 juta orang) atau bertambah 2,9 juta orang dibanding Agustus 2004 (104,0 juta orang). Jumlah penduduk yang bekerja pada Oktober 2005 diperkirakan mencapai 95,3 juta orang, bertambah 400 ribu orang dibanding Februari 2005 (94,9 juta orang) atau bertambah 1,6 juta orang dibanding Agustus 2004 (93,7 juta orang). Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Oktober 2005 diperkirakan sebesar 10,84%, lebih tinggi dibandingkan TPT Februari 2005 (10,26%) dan TPT Agustus 2004 (9,86%).
Jumlah angkatan kerja pada periode Agustus 2004 – Oktober 2005 bertambah sekitar 2,91 juta orang, dari 103,97 juta menjadi 106,88 juta. Sementara itu, jumlah pertambahan tenagakerja yang terserap di lapangan kerja dalam periode yang sama diperkirakan sebesar 1,6 juta orang, dari 93,72 juta menjadi 95,30 juta.
Berdasarkan situasi di atas, pertambahan jumlah penganggur pada periode yang sama mencapai sekitar 1,3 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka pada 2005 diperkirakan sebesar 10,84%, atau meningkat dibanding Agustus 2004 sebesar 9,86%. Penambahan penganggur dalam periode ini termasuk yang terkena PHK/kehilangan pekerjaannya sebagai dampak kenaikan harga BBM pada awal Maret 2005 maupun awal Oktober 2005 dan new entrants (tidak termasuk yang telah mendapatkan pekerjaan lagi).
Selisih perkiraan jumlah penganggur antara keadaan dengan dan tanpa memperhitungkan dampak kenaikan harga BBM pada awal Maret 2005 dan awal Oktober 2005, mencapai 426 ribu orang, artinya kenaikan harga BBM berpotensi menciptakan tambahan pengangguran baru sebesar 426 ribu.

B.     Angkatan Kerja, Penduduk Yang Bekerja Dan Angka Pengangguran
Situasi ketenagakerjaan di Indonesia pada Februari 2006 mulai menunjukkan arah yang lebih baik, paling tidak jika dibandingkan dengan keadaan pada Nopember 2005. Walaupun angka pengangguran terbuka pada Februari 2006 masih cukup tinggi, mencapai 10,4 persen tetapi jauh lebih rendah dibanding angka pada Nopember 2005 sebesar 11,2 persen. Di sisi lain jumlah penduduk yang bekerja bertambah 1,2 juta orang menjadi 95,2 juta orang dibanding Nopember 2005 (94,0 juta) atau bertambah 300 ribu orang disbanding Februari 2005 (94,9 juta).
Penciptaan pertumbuhan ekonomi yang memadai dengan No. 30 / IX / 1 Juni 2006 2 Berita Resmi Statistik No. 30 / IX / 1 Juni 2006 orientasi pada perluasan lapangan kerja akan sangat membantu dalam mengurangi angka pengangguran. Seperti dapat dilihat pada Tabel 1, jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) pada Februari 2006 sebesar 159,3 juta orang, bertambah sebesar 3,8 juta orang dibandingkan dengan keadaan Februari 2005 atau bertambah sebesar 800 ribu orang dibandingkan keadaan Nopember 2005.
Sementara itu, jumlah angkatan kerja pada Februari 2006 mencapai 106,3 juta orang, dan bila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja pada Februari 2005 sebesar 105,8 juta, berarti ada penambahan sebesar 500 ribu orang. Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2006 sebesar 95,2 juta orang, atau bertambah sebanyak 300 ribu orang dibandingkan jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2005. Tetapi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja pada Nopember 2005, terjadi penambahan sebesar 1,2 juta orang.
 Fenomena berkurangnya jumlah penduduk yang bekerja sebesar 900 ribu orang pada periode Februari 2005 -Nopember 2005, dan bertambahnya penduduk yang bekerja sebesar 1,2 juta orang pada periode Nopember 2005-Februari 2006 menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM pada awal Maret 2005 dan awal Oktober 2005 sempat memukul lapangan kerja hingga Nopember 2005, tetapi mulai menunjukkan perbaikan pada Februari 2006.
Dampak yang sama terjadi pada jumlah penganggur terbuka. Seperti telah disinggung sebelumnya jumlah penganggur terbuka pada Februari 2006 mencapai 11,1 juta orang, atau bertambah sebanyak 200 ribu orang dibandingkan jumlah penganggur terbuka pada Februari 2005. Tetapi jika dibandingkan dengan jumlah penganggur terbuka pada Nopember 2005, terjadi penurunan sebesar 800 ribu orang, yang berarti pernah terjadi penambahan penganggur terbuka sebesar satu juta orang pada periode Februari - Nopember 2005.
 Dengan kondisi seperti ini, tingkat pengangguran terbuka meningkat menjadi 11,2 persen pada Nopember 2005 dan menurun menjadi 10,4 persen pada Februari 2006 (kembali seperti keadaan pada Februari 2005 sebesar 10,3%). Persentase jumlah penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam/minggu (tidak termasuk yang sementara tidak bekerja) terhadap jumlah penduduk yang bekerja relative tidak banyak berubah yaitu 29,8 persen (Agustus 2004), 31,2 persen (Februari 2005), 30,8 persen (Nopember 2005) dan 31,4 persen (Februari 2006).
 Jumlah penganggur mengalami penurunan sebesar 384 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2006, dan mengalami penurunan sebesar 556 ribu orang jika dibandingkan keadaan Februari 2006. Selama setahun terakhir, penurunan penganggur terbesar juga terjadi pada perempuan, yang mengalami penurunan sebesar 542 ribu orang dibandingkan dengan penganggur laki-laki yang hanya mengalami penurunan sebesar 15 ribu orang. Walaupun selama satu tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja serta penurunan angka pengangguran, namun tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Februari 2007 masih sedikit di bawah TPAK Februari 2006. Hal ini terjadi karena peningkatan jumlah tenaga kerja dan penurunan pengangguran secara signifikan hanya terjadi pada kaum perempuan. Dengan demikian, walaupun TPAK Februari 2007 sedikit dibawah TPAK Februari 2006, namun terjadi peningkatan TPAK perempuan pada periode yang sama.
 Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 8,39 persen, mengalami penurunan dibanding pengangguran Februari 2008 sebesar 8,46 persen, dan pengangguran Agustus 2007 sebesar 9,11 persen. Jumlah penganggur pada Agustus 2008 mengalami penurunan sekitar 33 ribu orang jika dibanding keadaan Februari 2008, dan mengalami penurunan 616 ribu orang jika dibanding keadaan Agustus 2007.
 Peningkatan jumlah tenaga kerja serta penurunan angka pengangguran telah menaikkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 0,19 persen antara Agustus 2007 sampai Agustus 2008. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 7,87 persen, mengalami penurunan apabila dibandingkan TPT Februari 2009 sebesar 8,14 persen, dan TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen. Jumlah penganggur pada Agustus 2009 mengalami penurunan sekitar 300 ribu orang jika dibanding keadaan Februari 2009, dan mengalami penurunan 430 ribu orang jika dibanding keadaan Agustus 2008. Peningkatan jumlah tenaga kerja serta penurunan angka pengangguran telah menaikkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 0,05 persen selama periode satu tahun terakhir.
 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 7,14 persen, mengalami penurunan dibanding TPT Februari 2010 yang sebesar 7,41 persen dan TPT Agustus 2009 yang sebesar 7,87 persen. Jumlah penganggur pada Agustus 2010 mengalami penurunan sekitar 270 ribu orang jika disbanding keadaan Februari 2010, dan mengalami penurunan 640 ribu orang jika dibanding keadaan Agustus 2009. Peningkatan jumlah tenaga kerja serta penurunan angka pengangguran telah menaikkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 0,49 persen selama periode satu tahun terakhir.

Tahun 2005
  •   Jumlah angkatan kerja Februari 2005 mencapai 105,8 juta orang, bertambah 1,8 juta orang  dibanding Agustus 2004 sebesar 104,0 juta orang.
  • Jumlah penduduk yang bekerja dalam 6 bulan yang sama hanya bertambah 1,2 juta orang, dari 93,7 juta menjadi 94,9 juta orang, yang berarti menambah jumlah penganggur baru sebesar 600 ribu orang.
  •  Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2005 mencapai 10,3 persen, lebih tinggi sedikit dibanding TPT pada Agustus 2004 sebesar 9,9 persen.
Tahun 2006 
  • Jumlah angkatan kerja pada Februari 2006 mencapai 106,3 juta orang, bertambah 500 ribu orang dibandingkan jumlah angkatan kerja pada Februari 2005 sebesar 105,8 juta orang.
  • Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2006 sebesar 95,2 juta orang, bertambah 300 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2005, tetapi bertambah 1,2 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan Nopember 2005.
  • Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,4 persen, sedikit lebih tinggidibandingkan keadaan pada Februari 2005 (10,3%).


Tahun 2007
  • Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 108,13 juta orang, bertambah 1,74 juta orang dibanding jumlah angkatan kerja Agustus 2006 sebesar 106,39 juta orang atau bertambah 1,85 juta orang dibanding Februari 2006 sebesar 106,28 juta orang.
  •  Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 97,58 juta orang, bertambah 2,12 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan pada Agustus 2006 sebesar 95,46 juta orang, atau bertambah 2,40 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan Februari 2006 sebesar 95,18 juta orang.
  •  Jumlah penganggur pada Februari 2007 mengalami penurunan sebesar 384 ribu orang dibandingkan dengan keadaan Agustus 2006 yaitu dari 10,93 juta orang pada Agustus 2006 menjadi 10,55 juta orang pada Februari 2007, dan mengalami penurunan sebesar 556 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan Februari 2006 sebesar 11,10 juta orang.
  • Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 9,75 persen, mengalami penurunan dibandingkan keadaan pada Agustus 2006 (10,28 persen), demikian juga terhadap keadaan Februari 2006 (10,40 persen).




Tahun 2008
  • Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 111,95 juta orang, bertambah 470 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari 2008 sebesar 111,48 juta orang atau bertambah 2,01 juta orang dibanding Agustus 2007 sebesar 109,94 juta orang.
  •  Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 102,55 juta orang, bertambah 503 ribu orang dibanding keadaan pada Februari 2008 sebesar 102,05 juta orang, atau bertambah 2,62 juta orang dibanding keadaan Agustus 2007 sebesar 99,93 juta orang.
  •  Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 8,39 persen, mengalami penurunan dibanding pengangguran Februari 2008 sebesar 8,46 persen, dan pengangguran Agustus 2007 sebesar 9,11 persen.


Tahun 2009
  •  Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 113,83 juta orang, bertambah 90 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,74 juta orang atau bertambah 1,88 juta orang dibanding Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang.
  • Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 104,87 juta orang, bertambah 380 ribu orang dibanding keadaan pada Februari 2009 sebesar 104,49 juta orang, atau bertambah 2,32 juta orang dibanding keadaan Agustus 2008 sebesar 102,55 juta orang.
  • Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 7,87 persen, mengalami penurunan apabila dibandingkan TPT Februari 2009 sebesar 8,14 persen, dan TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen.

Tahun 2010
  • Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 116,5 juta orang, bertambah sekitar 530 ribu orang dibanding angkatan kerja Februari 2010 yang sebesar 116,0 juta orang atau bertambah 2,7 juta orang dibanding Agustus 2009 yang sebesar 113,8 juta orang.
  •  Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 108,2 juta orang, bertambah sekitar 800 ribu orang dibanding keadaan pada Februari 2010 yang sebesar 107,4 juta orang atau bertambah 3,3 juta orang dibanding keadaan Agustus 2009 yang sebesar 104,9 juta orang.
  •  Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 7,14 persen, mengalami penurunan dibanding TPT Februari 2010 yang sebesar 7,41 persen dan TPT Agustus 2009 yang sebesar 7,87 persen


D.1 Juta Sarjana Jadi Pengarngguran
Ketua Presidium ICMI Pusat, Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim menegaskan, sebanyak 1 juta lulusan perguruan tinggi (PT) di Indonesia yang bergelar sarjana menganggur. Sedangkan keseluruhan jumlah penganggur di Indonesia sebanyak 5,5 juta orang.
“Data yang dilansir pada awal 2008 itu menunjukkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Selain itu, data itu juga menunjukkan bahwa menempuh pendidikan di PT hanya menjadi salah satu jalur yang dilalui untuk menempuh tantangan di arena hidup yang sesungguhnya.
Cepat atau tidaknya lulusan PT bekerja, bergantung kepada kreativitas dan keinovatifan dalam menggali potensi yang dimiliki,” kata Marwah saat berbicara di hadapan mahasiswa baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung di Auditorium UIN SGD, Jln. A.H. Nasution 105 Bandung.
Kegiatan itu merupakan salah satu materi acara yang digelar pada “Ta’aruf Mahasiswa Baru UIN SGD Bandung, Tahun Akademik 2008/2009?. Selanjutnya birokrat yang saat ini banyak bergiat pada program pengembangan kepribadian itu mengatakan, ketika Indonesia memasuki usia kemerdekaan yang ke-63, Indonesia masih dibelenggu oleh berbagai permasalahan.
Di era abad milenium ini, katanya, Indonesia masih menjadi negara yang mengimpor bahan-bahan pangan. Beberapa jenis bahan makanan, seperti beras, kedelai, jagung, singkong hingga garam, masih diimpor oleh negara yang berslogan Negeri Gemah Ripah Lohjinawi ini. “Salah satu bahan pangan yang diimpor dari luar negeri yaitu gandum. Impor bahan untuk pembuatan roti itu berasal dari beberapa negara di Benua Amerika dan Eropa. Sedikitnya 4,5 juta ton gandum setiap tahun didatangkan ke Indonesia,” katanya.
Disebutkannya, kenyataan lain yang juga membuat bangsa Indonesia prihatin, yaitu masih rendahnya pendapatan per kapita manusia Indonesia. Rata-rata pendapatan per kapita setiap penduduk Indonesia hanya sebesar 1.000 dolar Amerika Serikat/AS (Rp 1 juta) per tahun.
“Angka sebesar itu sangat jauh dibandingkan negara-negara lain yang sudah mencapai predikat negara maju. Untuk negara Jepang misalnya, rata-rata pendapatan per kapita penduduknya mencapai angka 37.000 dolar AS (37 juta) per tahun,” ujarnya.
Marwah mengungkapkan, data lain yang akan membuat semakin prihatin rakyat yaitu membumbungnya utang luar negeri Indonesia. Pada tahun ini, utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 1.500 trilliun. “Angka itu menunjukkan bahwa setiap orang Indonesia memiliki beban utang sangat besar. Dari 200 juta penduduk Indonesia, setiap warga Indonesia menanggung utang sebesar Rp 7 juta,” tuturnya.
Menurut Marwah, untuk menghadapi berbagai permasalahan yang membebani Indonesia, manusia Indonesia ha-rus meningkatkan kemampuan dalam memenej diri. “Kalangan muda yang akan berkiprah 4 hingga 5 tahun yang akan datang dituntut melakukan visi kehidupan yang jelas. Tidak pada tempatnya jika kita menggantungkan hidup kepada orang lain,” katanya.

E.Kambing Hitamkan Krisis Global
Krisis global selalu jadi kambing hitam bangkrutnya Indonesia. Kali ini juga, Armida menyatakan, ada dua hal yang membuat penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan tahun lalu tidak tercapai. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga 2 kali pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global pada tahun 2008. “Terasa kita yang sifatnya external shock itu yang mungkin mempengaruhi pencapaian 2005-2009”. Yang menyampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida S. Alisjahbana.

BAB III
PENUTUP

Pengangguran sudah menjadi masalah konkrit yang sulit untuk di pecahkan di Indonesia. Hal tersebut di karenakan jumlah populasi  penduduk Indonesia tinggi, yang tidak disertai dengan pembukaan lapangan pekerjaan yang memadai. Jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol menjadi masalah lain yang harus ditangani oleh pemerintah. Sebenarnya peranan pemerintah pada lima tahun terakhir sudah cukup menjanjikan terbukti dengan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2005 yang mencapai 10,3 persen menjadi, 10,4 persen pada Februari 2006, pada Februari 2007 menjadi 9,75 persen, pada Februari 2008 menjadi 8,46 persen, pada Februari 2009 sebesar 8,14 persen,pada Februari 2010 yang manjadi sebesar 7,41 persen. Akan tetapi hal tersebut perlu ditingkatkan lagi agar pada akhirnya nanti Indonesia bebas dari pengangguran. Hal yang perlu ditingkatkan agar jumlah pengangguran di Indonesia dapat berkurang antara lain dengan penyuluhan program keluarga berencana(KB) untuk menekan angka pertumbuhan penduduk yang tinggi. Pemerintah juga perlu membuka lapangan pekerjaan baru,seperti menghidupkan kembali program transmigrasi yang sempat berjalan beberapa tahun yang lalu. Memberikan pendidikan ketrampilan juga perlu diberikan oleh pemerintah agar dapat berwirausaha sendiri dan dapat ikut membantu mengurangi pangangguran. Penyaluran tenaga kerja Indonesia(TKI) juga menjadi pilihan lain untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, akan tetapi pemerintah jangan lantas menjadikan penyaluran TKI sebagai pilihan utama, kita bangsa besar tapi jangan sampai disebut bangsa yang besar penyalur TKI apa kita tidak malu jika disebut separti itu?