HUKUM PERJANJIAN
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan
manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya
berdimensi kemanusiaan dan sosial
budaya, namun juga menyangkut aspek
hukum, termasuk perdata. Naluri untuk
mempertahankan diri, keluarga dan
kepentingannya membuatmanusia berfikir untuk mengatur hubungan
usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjanjian? Dilihat dari
pengertian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu
perbuatan di mana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak
ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang
bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi
aktif yang bersifat timbal balik di
kedua belah pihak untuk melaksanakan
hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara
sederhana perjanjian dapat
dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat
untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Kapan sebenarnya perjanjian tersebut timbul dan mengikat
para pihak? MenurutPasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi
4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan
mengikat para pihak yang membuatnya.
Hal tersebut adalah:
1) Kesepakatan para pihak;
2) Kecakapan untuk membuat perikatan
(misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan
3) menyangkut hal tertentu;
4) adanya causa yang halal.
4) adanya causa yang halal.
Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan
dua hal yang terakhir disebut syarat obyektif. Suatu perjanjian
yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi
untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung
cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak
layaknya
perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki
cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang halal), maka
secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum.
(J.Satrio, 1992).
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak
terikat didalamnya dituntut untuk
melaksanakannya dengan baik layaknya
undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338
KUHPerdata, yaitu:
(1) perjanjian yang dibuat oleh para
pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
(2) perjanjian yang telah dibuat
tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari
para pihak atau karena adanya alasan
yang dibenarkan oleh undang-undang.
(3) Perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikat baik.
Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata
memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian.
Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat
perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak
melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan
dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang
menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan
perjanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan, bagaimana
jika salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian
dan apa yang seharusnya dilakukan jika hal tersebut terjadi?
Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan,
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah
memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan,
maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai
wanprestasi. Dalam prakteknya untuk
menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan dianggap
melakukan wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu
(somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa
satu pihak telah melanggar ketentuan perjanjian (cantumkan pasal dan ayat yang
dilanggar). Disebutkan pula dalam
somasi tersebut tentang upaya hukum
yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak
mematuhi somasi yang dilayangkan.
Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan
somasi berikutnya (kedua) dan bila hal tersebut tetap diabaikan,
maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah
hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang berwenang
atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. Mengenai hal ini
Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan:
”debitur
dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan
kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur
harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah
melakukan wanprestasi harus memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah
dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, kerugian
yang timbul akibat perbuatan wanprestsi tersebut serta bunganya.
Dalam Pasal 1243 KUHPerdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga
karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun
telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu,
atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya
dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui
tenggang waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal 1244
KUHPerdata bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan
bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya
perikatan itu atau tidak tepatnya
waktu dalam melaksanakan perikatan
itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.
Berbeda halnya jika terjadi force majeur yaitu dalam keadaan
memaksa atau hal-hal yang secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi
kewajibannya, maka keharusan untuk
mengganti segala biaya, kerugian dan
bunga sebagaimana dinyatakan di atas tidak perlu
dilakukan (Pasal 1245 KUHPerdata).
Demikian sekilas uraian mengenai hukum perjanjian. Banyak
hal yang belum dijelaskan berkenaan perjanjian dengan segala aspek yang ada dan
terkait didalamnya. Namun demikian
jika kita menarik kesimpulan, maka
salah satu inti dari perjanjian atau kontrak sebenarnya
adalah iktikat baik dari para pihak.
Tanpa hal tersebut, sebaik dan sedetail apa pun perjanjian,
tidak akan berarti apa pun kecuali
hanya secarik kertas tanpa makn
SYARAT
SAHNYA PERJANJIAN PASAL 1320 KUHPerdata
1
Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud
dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju
mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2.Kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas
cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan
sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut
KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.
Menurut
UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi
laki-laki, 16 th bagi wanita.
Acuan
hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3.Adanya
Obyek.
Sesuatu
yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang
cukup jelas.
4.Adanya
kausa yang halal.
Pasal
1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal,
atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Bagaimanakah Syarat Sah Suatu
Perjanjian ?,
Berdasar ketentuan hukum yang berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :
1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.
3. Ada suatu hal tertentu
Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak.
4. Adanya suatu sebab yang halal
Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
Berdasar ketentuan hukum yang berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :
1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.
3. Ada suatu hal tertentu
Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak.
4. Adanya suatu sebab yang halal
Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
• tidak bertentangan dengan ketertiban umum
• tidak bertentangan dengan kesusilaan
• tidak bertentangan dengan undang-undang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar